Jul 26, 2012

Terlambat


Bagi Mira, hidup kini terlalu membosankan, tak ada lagi yang ia tunggu seperti hari-hari biasanya. Beberapa kejadian yang belakangan terjadi membuat ia terpaksa harus menata ulang hatinya. Belajar untuk menerima keadaan.
Merelakan sebuah kepergian memang tak pernah mudah, Suaminya yang meninggal adalah kehilangan yang pahit namun perpisahaan dengan seseorang di taman tempo hari adalah kehilangan sesungguhnya.
Sebulan setelah kejadian di taman itu. Seseorang datang mengetuk pintu rumahnya, menyerahkan selembar amplop coklat dan sebuah kabar. Kabar yang membuatnya mengerti apa yang namanya ‘terlambat’
* **
Senja itu, Mira duduk sendirian di taman sambil memandangi langit yang berwarna jingga. Sesekali ia menikmati pantulan cahaya matahari yang berkilauan di riakriak air kolam di tengah taman. Riak riak air yang menyerupai sisik-sisik naga yang berkelebat berwarna keemasan. “Indah” ucapnya pelan.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisian dengan remaja yang sedang bermesraan, Mira duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Hai...
Seorang Pria tiba-tiba berdiri dihadapannya sambil tersenyum. Senyum yang sudah bertahun-tahun tak pernah dilihatnya. Senyum yang hampir tak mungkin bisa ia lupakan, terlalu istimewa dan mungkin hanya bisa lupa jika memang ia hilang ingatan.  
Itu kamu?” Mira tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, kesemuanya membuat Mira tak mampu beranjak sedikitpun dari tempat ia duduk.
Begitupula Willi, Dadanya bergemuruh hebat melihat Mira dihadapannya. Ada perasaaan terpendam bertahun-tahun yang tiba-tiba menyeruak. Ingin ia memeluk wanita itu dan merasakan bahwa ini benar-benar kenyataan.
Sesaat mereka berdua hanya terdiam, hingga Mira berhasil mengendalikan emosinya dan menggeser duduknya untuk memberi tempat pada willie.
Gimana?” Tanya Mira tak jelas arahnya.
Kaget ya, Gimana apanya?” tanya Willie yang telah duduk di sebelah Mira.
Iya kaget, Gimana caranya kamu tahu aku di sini?
Dari seorang teman, Lama yah kita gak ketemu.
 “Dua puluh tahun, bukan waktu yang sebentar” Jawab Mira pasti.
Dan kamu masih saja terlihat manis seperti dulu.
Mira hanya tersenyum kecil. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah memudar karena usia. Tapi kalimat itu tak urung membuat Mira merasa tersanjung karenanya.
Terakhir ku dengar kamu tinggal di Singapura. Kapan kamu datang?” tanya Mira yang kini mulai berani menatap mata Willie.
Belum seminggu, tiga hari yang lalu tepatnya
Sengaja datang  mencariku ya?” Mira tersenyum manja, sisa masa mudanya dulu.
Willi hanya tertawa kecil lalu sesaat kemudian tiba-tiba tawanya hilang. “Aku mendengar kabar suamimu meninggal, aku turut berduka.” ucapnya pelan. “sama seperti dahulu, aku datang menemuimu hanya untuk memastikan kau akan baik-baik saja,” lanjut willie.
Mira tak mengucapkan sepatah katapun. Bibirnya bergetar dan matanya menerawang ke kejauhan. Sedetik kemudian mata itu berembun. Perih tiba-tiba terasa menjalari seluruh hatinya. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih saat ia memilih untuk menikah. Tetapi sore ini, ketika Willie tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar di sudut hatinya tersimpan goresan luka yang bisa terkoyak kapan saja.
“Lalu, kemana saja kau pergi selama ini, saat aku menunggumu tanpa kabar  dan kini kau datang begitu saja seolah semua baik-baik saja!” Mira mengucapkan itu tanpa melihat willi bahkan dari nada suaranya ia tak dapat menyembunyikan kemarahannya.
“Kamu tahu Mira, Saat itu aku lelah sama perasaanku sendiri”
“…….”
“Tapi jika kamu tahu, aku gak pernah nyerah sama perasaanku ini, aku hanya merelakanmu bahagia”
“Huh.. apa bedanya merelakan sama menyerah? Keduanya sama saja bagiku.”
“Saat itu aku sadar, seberapa besarpun aku mencintaimu tak akan pernah mampu membuat kamu bahagia.”
“Dasar sok tahu, darimana kamu menyimpulkan aku gak pernah bahagia  sama kamu?. Dasar Bodoh!”
“…….”
“Huh.. Dulu kamu tak pernah mengatakannya Mira, tak pernah..!, lalu darimana kutahu waktu itu kamu bahagia sama aku.”
“Aku selalu menunggu kamu wil, aku mencintai kamu”
 Mira dan Willi hanya duduk terdiam, seolah waktu berhenti dan dunia mulai berputar berlawanan arah. Fikiran mereka terbang menerawang jauh menembus bertahun-tahun waktu yang telah terlewat. Dan mendarat tepat di masa mereka adalah sepasang sahabat.
Di taman itu, waktu berjalan dengan angkuhnya seakan tak ada yang bias menghentikan lajunya sang mentari senja pun harus tenggelam menyisakan semburat merah di ufuk barat.
Suara Willi akhirnya memecahkan dinding dinding kesunyian yang tercipta diantara mereka berdua.
“Perasaanku padamu gak pernah berkurang sedikitpun Mir, dan walaupun sekarang aku tahu kamu punya perasaan yang sama sama aku, semua sudah terlambat”
“Maafkan aku, Maaf jika aku baru mengatakannya saat ini , aku juga tahu sekarang sudah terlambat. mungkin disisimu sekarang sudah seorang wanita cantik yang mampu membuatmu bahagia.” Suara Mira bergetar sambil mengukir senyum yang dipaksakan.
“Bukan itu alasannya, sampai saat ini aku tak pernah menikah Mir, jika harus menikah aku hanya akan menikah dengan wanita yang aku cintai. Dan aku harap itu kamu. Ah sudahlah..!! kita sudah terlalu tua untuk membicarakan cinta. Semua sudah terlambat.”
“……”
“……”
“Lalu…?” Mira bertanya menunggu kejelasan apa yang diucapkan Willi
“Aku harus pergi.. kamu baik-baik ya, jaga dirimu” Tanpa menjawab pertanyaan Mira, Willi pergi begitu saja.   
Sore itu sejuta pertanyaan menghampiri Mira. Sebuah pertemuan yang ia tunggu sejak dulu, Sebuah momen untuk mengungkapkan perasaan pada seseorang yang ia cintai berakhir begitu saja. Ia kini kembali ditinggalkan.

***
Amplop coklat itu berisi selembar surat yang kini telah ia pegang. Tangannya masih gemetar menahan semua gemuruh perasaannya saat ini. Mira duduk di sebuah meja yang dekat dengan jendela. Sinar mentari bersinar cerah pagi itu memperlihatkan pipinya yang mulai basah oleh air mata.
Ia masih bergetar memegang surat itu. Sebuah surat yang datang bersama kabar meninggalnya Willi karena kanker darah. Inilah rasa kehilangan sesungguhnya yang membuat hatinya remuk seketika.
Perlahan ia pun membaca surat terakhir dari willi.
“Dear Mira…
Jika kamu membaca surat ini artinya aku sedang memulai perjalanan panjangku. Kamu tahu gak? Banyak hal yang telah aku lalui sepanjang hidupku, tapi hal terindah yang tak pernah bisa kulupakan adalah saat bersamamu dulu. Kamu yang manja, yang sukanya diperhatiin. Kamu yang suka cerita panjang lebar tentang apapun. Kamu yang suka teriak melengking sampe 7 oktaf .. haha mungkin Mariah carey aja kalah dengan lengkingan suara kamu. Semua itu dan masih banyak hal lainnya adalah hal-hal yang paling mewarnai hidupku selama ini.
Terima kasih. Terima kasih untuk bersedia aku cintai. Dan kini aku pun berterima kasih karena kau juga mencintaiku.
Tetapi Maaf aku tak bisa bersamamu seberapa besarpun aku ingin. Tuhan punya rencana lain untuk ku, untuk mu, untuk kita. Dan kita tak pernah bisa menilai semua ini lebih baik atau buruk dari kacamata seorang manusia. Tuhan tau yang terbaik.
Kamu baik-baik ya,
jalani hidupmu dengan baik. Temukan seorang pria yang dapat membahagiakanmu.
Jangan lagi menungguku karena aku tak akan pernah kembali.

Dari Aku yang tak pernah berhenti menyayangi kamu apa adanya
_Willi

“Maaf kan aku willi. Maafkan aku yang dahulu terlambat menyadari perasaanku sendiri. Menyadari bahwa sesungguhnya saat itu kau memberiku kesempatan untuk dicintai sekaligus mencintai. Dan 
kini, seperti yang kau bilang di taman sore itu. Semuanya sudah terlambat.”



No comments:

Post a Comment