Bagi Mira, hidup kini terlalu
membosankan, tak ada lagi yang ia tunggu seperti hari-hari biasanya. Beberapa kejadian yang belakangan terjadi membuat ia terpaksa harus menata ulang hatinya. Belajar untuk
menerima keadaan.
Merelakan sebuah kepergian memang tak pernah
mudah, Suaminya yang meninggal adalah kehilangan yang pahit namun perpisahaan
dengan seseorang di taman tempo hari adalah kehilangan sesungguhnya.
Sebulan setelah kejadian di taman itu.
Seseorang datang
mengetuk pintu rumahnya, menyerahkan selembar amplop coklat dan sebuah kabar.
Kabar yang membuatnya mengerti apa yang namanya ‘terlambat’
* **
Senja itu, Mira duduk sendirian di taman
sambil memandangi langit yang berwarna jingga. Sesekali ia menikmati pantulan cahaya
matahari yang berkilauan di riakriak air kolam di tengah taman. Riak riak air
yang menyerupai sisik-sisik naga
yang berkelebat berwarna keemasan. “Indah” ucapnya pelan.
Di salah satu bangku kayu panjang,
bersisian dengan remaja yang sedang bermesraan, Mira duduk menghadap ke jalan.
Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja
rebah di hamparan kota.
“Hai...”
Seorang Pria tiba-tiba berdiri
dihadapannya sambil tersenyum. Senyum yang sudah bertahun-tahun tak pernah
dilihatnya. Senyum yang hampir tak mungkin bisa ia lupakan, terlalu istimewa
dan mungkin hanya bisa lupa jika memang ia hilang ingatan.
“Itu kamu?”
Mira tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam
hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, kesemuanya membuat Mira tak mampu beranjak
sedikitpun dari tempat ia duduk.
Begitupula Willi, Dadanya bergemuruh hebat
melihat Mira dihadapannya. Ada perasaaan terpendam bertahun-tahun yang
tiba-tiba menyeruak. Ingin ia memeluk wanita itu dan merasakan bahwa ini
benar-benar kenyataan.
Sesaat mereka berdua hanya terdiam, hingga
Mira berhasil mengendalikan emosinya dan menggeser duduknya untuk memberi
tempat pada willie.
“Gimana?”
Tanya Mira tak jelas arahnya.
“Kaget
ya, Gimana apanya?” tanya Willie yang telah duduk di sebelah Mira.
“Iya
kaget, Gimana caranya kamu tahu aku di sini?”
“Dari
seorang teman, Lama yah kita gak ketemu.”
“Dua puluh tahun, bukan waktu yang sebentar”
Jawab Mira pasti.
“Dan
kamu masih saja terlihat manis seperti dulu.”
Mira hanya tersenyum kecil. Masih
’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu
pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah memudar karena usia. Tapi
kalimat itu tak urung membuat Mira merasa tersanjung karenanya.
“Terakhir
ku dengar kamu tinggal di Singapura. Kapan kamu datang?” tanya Mira yang
kini mulai berani menatap mata Willie.
“Belum
seminggu, tiga hari yang lalu tepatnya”
“Sengaja
datang mencariku ya?” Mira tersenyum
manja, sisa masa mudanya dulu.
Willi hanya tertawa kecil lalu sesaat kemudian
tiba-tiba tawanya hilang. “Aku mendengar
kabar suamimu meninggal, aku turut berduka.” ucapnya pelan. “sama seperti
dahulu, aku datang menemuimu hanya untuk
memastikan kau akan baik-baik saja,” lanjut willie.
Mira tak mengucapkan sepatah katapun. Bibirnya
bergetar dan matanya menerawang ke kejauhan. Sedetik kemudian mata itu
berembun. Perih tiba-tiba terasa menjalari seluruh hatinya. Luka lama itu
ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah
pulih saat ia memilih untuk menikah. Tetapi sore ini, ketika Willie tiba-tiba
muncul di hadapannya ia sadar di sudut hatinya tersimpan goresan luka yang bisa
terkoyak kapan saja.
“Lalu,
kemana saja kau pergi selama ini, saat aku menunggumu tanpa kabar dan kini kau datang begitu saja seolah semua
baik-baik saja!” Mira mengucapkan itu tanpa melihat
willi bahkan dari nada suaranya ia tak dapat menyembunyikan kemarahannya.
“Kamu
tahu Mira, Saat itu aku lelah sama perasaanku sendiri”
“…….”
“Tapi
jika kamu tahu, aku gak pernah nyerah sama perasaanku ini, aku hanya
merelakanmu bahagia”
“Huh..
apa bedanya merelakan sama menyerah? Keduanya sama saja bagiku.”
“Saat
itu aku sadar, seberapa besarpun aku mencintaimu tak akan pernah mampu membuat
kamu bahagia.”
“Dasar
sok tahu, darimana kamu menyimpulkan aku gak pernah bahagia sama kamu?. Dasar Bodoh!”
“…….”
“Huh..
Dulu kamu tak pernah mengatakannya Mira, tak pernah..!, lalu darimana kutahu waktu
itu kamu bahagia sama aku.”
“Aku
selalu menunggu kamu wil, aku mencintai kamu”
Mira dan Willi hanya duduk terdiam, seolah
waktu berhenti dan dunia mulai berputar berlawanan arah. Fikiran mereka terbang
menerawang jauh menembus bertahun-tahun waktu yang telah terlewat. Dan mendarat
tepat di masa mereka adalah sepasang sahabat.
Di taman itu, waktu berjalan dengan
angkuhnya seakan tak ada yang bias menghentikan lajunya sang mentari senja pun
harus tenggelam menyisakan semburat merah di ufuk barat.
Suara Willi akhirnya memecahkan dinding
dinding kesunyian yang tercipta diantara mereka berdua.
“Perasaanku
padamu gak pernah berkurang sedikitpun Mir, dan walaupun sekarang aku tahu kamu
punya perasaan yang sama sama aku, semua sudah terlambat”
“Maafkan
aku, Maaf jika aku baru mengatakannya saat ini , aku juga tahu sekarang sudah
terlambat. mungkin disisimu sekarang sudah seorang wanita cantik yang mampu
membuatmu bahagia.” Suara Mira bergetar sambil mengukir senyum yang dipaksakan.
“Bukan
itu alasannya, sampai saat ini aku tak pernah menikah Mir, jika harus menikah
aku hanya akan menikah dengan wanita yang aku cintai. Dan aku harap itu kamu.
Ah sudahlah..!! kita sudah terlalu tua untuk membicarakan cinta. Semua sudah
terlambat.”
“……”
“……”
“Lalu…?”
Mira bertanya menunggu kejelasan apa yang diucapkan Willi
“Aku
harus pergi.. kamu baik-baik ya, jaga dirimu” Tanpa menjawab pertanyaan Mira,
Willi pergi begitu saja.
Sore itu sejuta pertanyaan menghampiri
Mira. Sebuah pertemuan yang ia tunggu sejak dulu, Sebuah momen untuk
mengungkapkan perasaan pada seseorang yang ia cintai berakhir begitu saja. Ia
kini kembali ditinggalkan.
***
Amplop
coklat itu berisi selembar surat yang kini telah ia pegang. Tangannya masih
gemetar menahan semua gemuruh perasaannya saat ini. Mira duduk di sebuah meja
yang dekat dengan jendela. Sinar mentari bersinar cerah pagi itu memperlihatkan
pipinya yang mulai basah oleh air mata.
Ia
masih bergetar memegang surat itu. Sebuah surat yang datang bersama kabar
meninggalnya Willi karena kanker darah. Inilah rasa kehilangan sesungguhnya
yang membuat hatinya remuk seketika.
Perlahan
ia pun membaca surat terakhir dari willi.
“Dear Mira…
Jika kamu membaca surat
ini artinya aku sedang memulai perjalanan panjangku. Kamu tahu gak? Banyak hal
yang telah aku lalui sepanjang hidupku, tapi hal terindah yang tak pernah bisa
kulupakan adalah saat bersamamu dulu. Kamu yang manja, yang sukanya diperhatiin.
Kamu yang suka cerita panjang lebar tentang apapun. Kamu yang suka teriak
melengking sampe 7 oktaf .. haha mungkin Mariah carey aja kalah dengan
lengkingan suara kamu. Semua itu dan masih banyak hal lainnya adalah hal-hal
yang paling mewarnai hidupku selama ini.
Terima kasih. Terima
kasih untuk bersedia aku cintai. Dan kini aku pun berterima kasih karena kau
juga mencintaiku.
Tetapi Maaf aku tak
bisa bersamamu seberapa besarpun aku ingin. Tuhan punya rencana lain untuk ku,
untuk mu, untuk kita. Dan kita tak pernah bisa menilai semua ini lebih baik
atau buruk dari kacamata seorang manusia. Tuhan tau yang terbaik.
Kamu baik-baik ya,
jalani
hidupmu dengan baik. Temukan seorang pria yang dapat membahagiakanmu.
Jangan
lagi menungguku karena aku tak akan pernah kembali.
Dari
Aku yang tak pernah berhenti menyayangi kamu apa adanya
_Willi
No comments:
Post a Comment