Jan 31, 2012

Sajak untukmu sore itu


Sajak untukmu sore itu
Larik demi lariknya terhampar
Luruh di ujung lembar hatiku yang terkapar

Sajak untukmu sore itu
Melipat rapat dalam dekap
Berharap kau baca saat senyap

Sajak untukmu sore itu
Tentang isyarat juga gelagat
Yang aku temui dalam pekat

Sajak untukmu sore itu
Bersemayam dalam dada
Tak pernah sempat kau baca

Bogor, 31 Januari 12
Di suatu pagi

Kala Hujan, Ada Ceritamu Di Beranda


Mendung sedari tadi menggantung di langit sana. Burung-burung terbang pulang merindukan kehangatan di sarang, dan di beranda rumahmu, kita mulai berbincang.

Secangkir kopi hangat menemani kita sore itu, lalu kau pun mulai bercerita. Bercerita tentang kau dan dia serta kebahagiaan yang kini kau punya. Aku hanya menatapmu terdiam, kemudian sesekali mengangguk, sekedar tanda bahwa aku mendengarkan penuh perhatian. Tak akan ada satu ceritamu yang kubiarkan terlewat. Karena ku tahu kau akan marah jika aku berpura-pura mendengarkan, dan aku tak mau kemudian kita saling berdiam lagi karenanya.

Dengan wajah seperti mawar yang merekah, kau bercerita tentang dia. Tentang isyarat dan gelagat yang terbaca matamu, tentang senandung ucapannya yang merdu di telingamu, tentang pesan-pesan rerupa puisi cinta, juga tentang nasihat darinya yang mengenalkanmu pada sang Kuasa. Itulah yang membuatmu terpesona, keshalihannya. Nasihat-nasihatnya yang selalu mengingatkanmu pada Tuhan, Tuhan kau dan dia, Tuhan kita.

Ia memang pria baik” ucapku seadanya.

Kemudian aku kembali diam mendengarkan. Mengamati getar bibirmu sambil menyembunyikan getirku sendiri. Mengamati bening matamu yang meluas dalam hening hatiku. Tahukah kau, pada matamu sering kulihat musim hujan menderas, namun setelahnya tak juga muncul pelangi. Tapi kini, dapat kulihat pelangi itu melengkung menghias indah bola matamu. Keindahan yang membuatku takut, pertanda bahwa kau benar-benar jatuh cinta kali ini.

Perlahan waktu terus merayap melewati kita, mungkin sudah lewat satu jam kita berbincang. Mendung yang tadi menggantung kini sudah menjelma hujan. Aku tak tahu sejak kapan, mungkin sejak kau mulai bercerita. Atau bahkan sejak aku mengetuk pintu rumahmu dan kau menghipnotisku dengan senyuman itu. Aku percaya kau punya mantra yang bahkan seorang deddy corbuzier atau Rommy Rafael pun tak punya. Mantra yang membuat semua pikiranku seutuhnya tertuju padamu. Bahkan simfoni rintik hujan tak mampu mengalihkan perhatianku.

Tetapi tiba-tiba aku mulai bosan. Bukan karena dirimu, tetapi karena dia yang selalu kau sebut dalam ceritamu.

ahh.. mengapa hanya ada kau dan dia diceritamu, tanpa ada aku di dalamnya?” keluhku dalam hati, hati yang iri.

Biasanya kau akan menyadari jika aku mulai bosan. Lalu kita akan diam sejenak atau berganti peran. Aku yang akan bercerita dan sesekali membuatmu tertawa. Namun kali ini ada yang lain dari sikapmu. Kau seolah tak mempedulikan rasa bosanku. Kemudian kau terus saja bercericit, rerupa cericit burung pipit yang sedang sembelit. Ahh.. aku bosan.

Mungkin aku memang bodoh jika berhadapan denganmu. Padahal jika bosan, aku hanya tinggal pergi dari beranda rumahmu. Tetapi rasa bosan rupanya tak cukup membuatku sekedar berdiri dari kursi, kemudian mengayunkan kaki dan pergi. Ada yang tertahan kemudian tertambat di sini. Mungkin hatiku yang tertahan padamu, yang telah menemukan rumahnya. Tempat hati ini pulang ke segala tenang. Dirimu.
Tak terasa secangkir kopi yang kau berikan sudah tandas.

Bolehkah kau buatkan aku kopi lagi?” pintaku padamu.

Seutas senyum mengambang di wajahmu, kau mengangguk kemudian berdiri dan melangkahkan kaki ke dapur. Untuk sesaat aku sendirian di beranda, menikmati hujan lewat suara deras dan kejatuhan yang bebas. Bebas namun kemudian terhempas setelah memberikan curahan pada bunga-bunga, dedaunan dan tanah yang rindu. O hujan, aku belajar pada ketulusanmu mencintai meski harus kau korbankan diri sendiri.

Ini kopinya.. seperti yang kamu minta..” Aku tersentak, rupanya kau sudah berdiri di sampingku.

Iya terima kasih.

Kemudian kau menaruh cangkir kopi yang bertuliskan namamu itu di atas meja. Hadiah dariku saat ulang tahunmu november tahun lalu. Aku senang kau selalu memakainya untuk sekedar menemanimu minum kopi di beranda.

lagi melamun rupanya.. hayoo.. ngelamunin siapa?” tanyamu penasaran melihatku yang diam.

Hmm.. tak ada.. aku hanya sedang menikmati hujan” ujarku.

Hujan.. Hal yang kita berdua suka selain kopi.. iya kan?” balasmu.

Aku mengangguk. Dulu kau dan aku terkadang berdiri di tengah hujan dan menghirup nafas panjang. Mencoba menghirup bau hujan seperti membaui aroma kopi. Aroma hujan, aroma yang semasa kecil kita akrabi lewat kaki-kaki kita yang berlarian, lewat tangan-tangan kita yang selalu ingin tahu, serta lewat tubuh kita yang senang bergulingan.

aku suka hujan, aku suka bau tanahnya yang basah” ucapmu kala itu sambil bermandikan lumpur.

Kenangan masa kecil itu sudah lama terlewat namun hujan selalu mengingatkan kita berdua.

Aku punya kabar gembira.” Kau berkata tanpa menoleh padaku, hanya menatap tetes hujan yang jatuh.

Kabar gembira apa? Masih tentang dia?” tanyaku.

Dia mengajakku menikah, dan aku menerimanya” kemudian kau menoleh dan menatap mataku. Seolah ingin tahu pendapatku.

Aku terdiam sesaat. Lalu segera mengalihkan pandangan dari matamu.

Aku senang akhirnya kau menemukan cinta yang kau yakini?” Ucapku sambil menatap kosong ke arah jendela rumahmu yang berembun, persis serupa embun yang kini hadir dimataku.

Setelah itu, Aku tak tahu lagi apa yang kau ceritakan.

Hingga akhirnya langit mengakhiri ini semua.

Hujan telai usai, begitupun ceritamu. Langit mengusirku perlahan lewat gelap yang mulai merayap. Aku memang harus pergi dari sini meskipun enggan. Pergi dari beranda rumahmu, tempat terangkai sejuta kenangan tentang hujan, dan kita. Andai saja kau tahu, aku tak pernah mau pergi dari sini, juga dari hatimu. Hati yang kini telah dimiliki oleh lelaki yang cincinnya melingkar di jari manismu.

Sebelum aku melangkah pergi, kau ucapkan terima kasih setulus hatimu karena aku selalu ada saat kau sedih maupun senang. juga karena aku selalu mau mendengarkan semua ceritamu.

Tak apa, aku senang kau mau bercerita. Itu artinya kau mempercayaiku.., sebagai sahabat” Bibirku mengucapkannya dengan tegar.

Kemudian aku bergegas pulang. menyembunyikan mataku yang mulai berawan, yang mungkin saja nanti akan turun hujan saat malam. Akupun berjalan perlahan meninggalkan beranda rumahmu, Namun ada yang kutinggalkan disana. Hatiku yang tertahan.

Aku bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi hatiku tidak.”  

Dalam perjalanan pulang aku tersadar, kini tak ada aku di ceritamu. Karena cerita tentang aku dan kau hanya ada di sana, di beranda rumahmu.

Bogor, disuatu sore 2012

Jan 30, 2012

Aku di Laut Hatimu


Aku butiran pasir,
yang menepi dari lautmu.
kemudian terusir ke pesisir,
menjelma nyeri yang berdesir

Aku buih ombak,
yang terombang ambing di lautmu.
Sekuat diri agar tak terserak.
Oleh gelombang cinta yang merebak.

Aku seekor lumba-lumba.
Yang bernafas di lautmu.
Sesekali menghirup udara.
Agar tak tenggelam karena cinta.

Akulah Aku.
Yang menyelami lautmu.
Berusaha mengenalmu.
Namun terhempas oleh deru.

Bogor, 29 Januari 2012

Jan 2, 2012

Isyarat

air
awan
hujan
gunung
kabut
embun
dedaunan
mentari
senja
jingga
pantai
ombak
lautan
kau...

PUISI