Dulu.. Pernah berikrar tak akan melakukan perbuatan yang akan disesali pada akhirnya.. Tak akan menyakiti hati orang lain.. Tapi malam ini.. Saya mengingkari ikrar itu..
Dec 31, 2013
K.O
Saya, tidak pernah mereblog sebuah tulisan sebelumnya di blog ini… karena saya menganggapnya personal.. sebagus dan semirip apapun kondisinya dengan saya, kadang cara pandangnya yang berbeda. Tapi kali ini…
Tulisan yang selanjutnya akan kalian baca ini…. Sudah telak meng K.O saya tepat di ronde pertama… tepat di beberapa baris awal… [meskipun yang nulis bukan petinju..] jleb lah pokoknya..
Langsung saja biar kalian juga ngerasa di K.O sama tulisan keren bu Asma Nadia ini…
***
Seberapa tulus hatimu padaku, sebuah catatan akhir tahun...
siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?
Kalimat di atas sering sekali kita dengar. Barangkali pun sering kita ucapkan.
Ketulusan adalah sesuatu yang seharusnya juga kita masukkan dalam kalimat di atas.
sehingga secara implisit kalimatnya menjadi:
siapa saya yang bisa menilai ketulusan seseorang, atau menghakimi tulus tidaknya seseorang?
Seperti juga keikhlasan, ketulusan (yang saya anggap part dari ikhlas) adalah sesuatu yang tidak memiliki alat ukur yang jelas.
lalu apa indikator seseorang tidak tulus? apa indikator seseorang tulus? adakah tips-tips mengenali bentuk ketulusan or ketidaktulusan ini?
Saya tidak tahu jawabannya. Saya lebih khawatir pada kesalahan saya mengenali bentuk ketulusan, dibandingkan mengkhawatirkan ketulusan orang-orang yang memasang wajah tulus di hadapan saya.
Kenapa?
Sebab apakah mereka tulus atau tidak, sama sekali bukan urusan saya.
Jika mereka tidak tulus, maka itu tidak akan merugikan saya… tidak membuat saya menjadi orang yang lebih besar atau menjadi orang yang lebih kecil.
Sebab kita sendiri yang menentukan, akan jadi manusia yang lebih besarkah kita, atau sebaliknya. Bukan orang lain.
Katakanlah seseorang memberi pujian untuk kita.
“Wah, mbak cantik sekali. Lebih cantik dari yang saya dengar…”
Apakah mereka tulus mengungkapkan itu?
Ah, apa artinya mereka tulus ketika memuji atau tidak?
Sebab toh jika mereka tulus, pujian tersebut tidak membuat kita bertambah cantik.
Adapun jika mereka hanya mencari bahan obrolan, atau berusaha lebih dekat, atau mengambil hati kita dengan kalimat itu, saya kira ini kreativitas seseorang yang tidak menyakitkan.
Bagaimana jika mereka mengatakan hal itu justru untuk mengecilkan hati kita. Jahatnya begitu. Sebab kita yang tiap hari bercermin tahu betul apa kata cermin tentang diri kita. Dan kita misalnya sama sekali tidak masuk kriteria cantik secara fisik. Apakah kita harus merasa sedih atau marah karena mereka tidak tulus? Justru mungkin diam-diam menertawakan kita di belakang?
Ah, terus kenapa pula jika mereka memang menertawakan kita, jika mereka tidak tulus? Apakah kita menjadi lebih kecil dan tidak berarti? Tentu tidak. Arti diri kita, nilai diri kita… kitalah yang menentukan. Sepenuhnya di tangan kita. Bukan tangan orang lain.
“Dia bilang saya hebat, padahal dia tahu proyek saya gagal… “
“Dia Cuma pura-pura manis depan saya, padahal maksudnya…”
“Dia kan begitu hanya untuk bisnis, ramahnya untuk kepentingan-kepentingan tertentu…”
Katakanlah mereka benar tidak tulus terhadap kita… lalu kenapa? Apa ruginya?
Bahwa manusia berusaha lebih kreatif, berusaha melancarkan bisnis, berusaha untuk kehidupannya, apakah itu menjadikan mereka manusia yang tidak baik? Tidakkah kita pun akan menjaga sikap kita, bahkan pada orang yang tidak kita sukai, namun punya pengaruh? Sebab ini adalah upaya survive dalam kehidupan, tahu bagaimana beradaptasi. Tentu kita juga tahu bagaimana mencapai itu tanpa terjebak menjadi munafik.
Tentu saja, seharusnya seseorang tulus dengan apa yang dia ucapkan, dengan apa yang dia lakukan…
Tetapi kalau mereka memiliki alasan lain, tidak berarti mereka tidak tulus. Atau bahkan jika mereka benar-benar tidak tulus… Biarlah.
Kenapa harus kita membiarkan bisikan-bisikan tadi justru merusak hati, dan malah melawan prinsip yang pernah kita tanamkan dalam hati kita:
siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?
Dengan menilai orang lain tidak tulus, menilai orang lain bermaksud ini itu, memiliki kepentingan-kepentingan tertentu… mungkin kita benar. Lalu jika benar, apa poin lebih bagi kita?
TAPI, bagaimana kalau kita salah menilai? Semua yang kita anggap sebagai bagian dari ketidaktulusan justru merupakan ketulusan?
Ahh, apa pula arti ketulusan?
Apakah ketulusan harus sesuai dengan apa yang KITA inginkan? Sesuai dengan definisi dan batasan-batasan KITA tentukan? Sehingga jika ada yang melakukan sesuatu di luar rambu-rambu yang KITA tetapkan, kita anggap tidak tulus?
“Kalau dia tulus harusnya dia begini dong…”
”Kalau tulus dia nggak mungkin begitu…”
Kenapa ketulusan harus kita yang menjadi juri. Harus menurut kacamata kita?
Lalu di mana kita meletakkan poin, menghormati sebuah perbedaan? Bahwa ada orang lain yang memang berbeda, bahasa, budaya, agama…
Ketika seseorang memilih bersikap berbeda semata-mata karena upayanya menjadi hamba Allah yang lebih baik, dan bukan karena alasan-alasan lain, tanpa bermaksud menyakiti orang lain. Jika kemudian sikapnya tidak sesuai dengan keinginan kita, kacamata kita, atau apa yang kita percayai, apakah dia menjadi tidak tulus?
Ketulusan itu, biarlah Dia yang menilai sepenuhnya.
Sebab memang terlalu rumit untuk kacamata manusia.
Manusia dengan kemampuan pikir, hanya boleh berasumsi, boleh mengira-ira. Tapi dengan tetap menghidupkan kesadaran:
Allah, betapa terbatasnya mata kita, betapa luasnya pandanganMU.
Terbukti, kita seringkali salah menilai seseorang…
“Saya kira dia suka ini… ternyata tidak.”
“Kelihatannya orangnya pendiam, ya… ternyata kok rame.”
Begitu banyak ternyata-ternyata lain.
Buat saya, saya tidak ingin meletakkan kebahagiaan saya, di tangan orang lain. Sebuah pujian tidak akan membuat saya bertambah kaya, sebab saya tahu… di mataNYA, begitu banyak cela dan cacat saya, begitu banyak ketidaksempurnaan saya, begitu kecilnya saya…
Tetapi, sebuah ketidaktulusan, juga tidak boleh menyakiti saya, apalagi mengubah dunia saya. Ikhlaskan saja…
Tapi jadikan ketidaktulusan yang kamu temui, apakah asumsi atau kemudian terbukti, di mana saja… kapan saja… siapapun yang melakukannya, sebagai pelajaran dan bekal, untuk menjadi lebih tulus dari kemarin.
Sebab saya tidak ingin membuat hati-hati lain retak karena saya bersikap tidak tulus.
Saya yang harus tulus. Bukan orang lain.
Saya yang tidak boleh tidak tulus, bukan orang lain.
Sebab saya yang akan bertanggung jawab terhadap ketulusan atau ketidaktulusan saya, di mahkamahNya nanti. Saya, bukan yang lain…
---Asma Nadia
ps: Jadi seberapa tulus hatimu padaku?
Itu tidak penting buatku.
tapi percayalah, itu sangat penting, untukmu:)
***
Artikel asli bisa dibaca langsung di sini
http://www.asmanadia.net/2011/11/seberapa-tulus-hatimu-padaku-sebuah.html
Dec 28, 2013
tetap BIRU
If you change the way you look at things. The things you look at change (Wayne Dyer)
air laut akan terasa nyaman kecuali ada luka, ia terasa perih. Jangan salahkan air laut, obati saja lukanya. (Anies Baswedan)
apa yang berubah dari air laut? ia tetap asin dan akan selalu begitu sesuai dengan sifat aslinya… lalu kenapa dia bisa menyebabkan dua kondisi yang berbeda? Disatu sisi dia membuat nyaman namun disisi lain ia membuat perih?
sebenernya yang berubah bukanlah air lautnya tetapi sudut pandangnya… dan kondisi kita yang berubah, bukan pada objeknya tapi pada subjek yaang memandangnya…
kita memandang air laut sebagai sesuatu yang hangat dan nyaman untuk bermain, selalu menggoda kita untuk men ‘cemplung’ kan badan kita dan membuat basah… namun ketika kita mempunyai luka yang belum kering, bahkan luka gores kecil saja membuat air laut itu menjadi perih, tak menarik lagi untuk diajak bermain.. ombaknya tak terlihat lagi melambai lambai ngajak nyemplung… lalu apakah air laut itu yang berubah? Yang pasti bukan!
perubahan sikap pada seseorang itu wajar. karena semua yang ada di alam inipun berubah sesuai waktunya... tapi.. kita mungkin seringkali salah menyikapi sikap orang lain.. menuduhnya telah berubah, dia yang dulunya dekat kemudian jadi kurang akrab, seperti ada jurang pembeda yang tiba tiba saja terlihat… lalu dengan mudah men’judge’ bahwa orang lain itu berubah. Kita lupa memakai sudut pandang lain. Kita hanya memandang dari apa yang kita kira, syak wasangka belaka, prasangka yang lebih sering salah dibanding benar.
saya yang berubah?, kamu yang berubah?? atau mungkin… hanya cara pandang kita yang berubah??
Seperti air laut tadi… mungkin orang yang kita sangka berubah ternyata tak berubah sedikitpun. Mungkin ia memang tetap ramah, tetap bersahabat, tetap baik, tapi ada sesuatu di diri kita yang berbeda, bisa jadi sebagian besar karena faktor lingkungan. karena kita yang sibuk sendiri, Karena kita yang jauh dan jarang menyapa, atau kondisi psikologis yang lain..
Sejatinya tak ada yang berubah padanya.. ia berubah karena cara pandang kita yang berubah...
ia tetap saja asin.
Tetap biru.
Merindukan Hijaumu
Apa yang menarik dari sebuah pendakian??
Mengapa 9 dari 10 orang ingin mendaki lagi setelah pendakian pertamanya?? (perbandingannya ngarang aja ini mah.. hehe)
Apa yang menarik dari deretan pohon pohon yang sepanjang mata memandang hanya berwarna hijau dan coklat? Lalu udara yang begitu dingin bikin gigi gemeretak beradu satu sama lain.., bukankah lebih nyaman dirumah ketika badan tenggelam dalam busa yang empuk sambil dipeluk selimut tebal yang hangat?
Pendakian gunung juga sarat dengan bahaya, jika salah perhitungan atau lengah sedikit… hypothermia, tersesat atau terpeleset masuk jurang merupakan hal yang rentan dialami pendaki. Dan masih beruntung jika yang menjemput dan menolong kita pada saat itu adalah tim SAR. Karena gak sedikit juga yang dijemput sama malaikat maut.
Bagi sebagian orang, rindu mendaki gunung mungkin seperti rindu bertemu kekasih. Ada sesuatu yang menariknya untuk dia bersama sama lagi menikmati ‘kenyamanan’ yang gunung berikan. Bukankah seseorang menjalin sebuah hubungan karena adanya rasa nyaman?
Ketika ditanya mengapa kita mencintai seseorang, adakalanya kita bingung… jatuh cinta ya jatuh begitu saja, tanpa alasan, semacam ada unsur magis yang membuat detak dan debar jantung menjadi sebuah shimponi yang merdu melebihi gubahan mozart atau bethoven. Berlebihan? Ah rasanya tidak.. Itu mirip dengan mendaki gunung… kadang orang yang sudah mendaki gunung berkali kali tak pernah tau alasannya kenapa ia kembali mendaki lagi dan lagi… apakah hanya sekedar bermain main? petualang?, merasa tertantang? Atau ingin terlihat hebat? Rasanya hanya ada rasa ingin tanpa embel embel yang lain… dan saat mendaki ada unsur magis tadi yang menggelitik alam bawah sadar dan perasaan kita.. Ya semacam jatuh cinta..
Buat yang pernah mendaki.. pernah gak ngalamin ketika kita mendaki daerah yang berat dan butuh tenaga ekstra sementara kita udah jalan jauh, capek, nafas sudah memburu dan pendek pendek… lalu suasana begitu hening… yang terdengar dengan jelas hanyalah suara nafas, degup jantung dan kaki yang melangkah terseret… masing masing bergulat dengan pikirannya sendiri.. pada saat seperti ini tak ada yang namanya mikirin kerjaan, tugas kuliah, suasana rumah, atau masalah di luar sana, yang ada hanyalah fokus menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, berjuang mencapai puncak.
Saat saat seperti itu tanpa disadari justru memunculkan sisi spiritual yang kita punya, ketika kita merasa tak berdaya. Saat itulah kita merasa begitu dekat dengan Dia. Dia yang menancapkan gunung gunung itu dengan kokoh di bumi, menghiasnya dengan pohon pohon menjulang dan mata mata air yang menyejukan... Pengalaman spiritual itulah yang kadang membuat kita menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya… kita yang pasrah, kita yang merasa begitu kecil dihadapannya… ketika hidup dan mati begitu dekat…
Perasaan spiritual ini sebenernya coba disimulasikan dalam berbagai training motivasi.. tapi efek dari mendaki gunung bukan sekedar simulasi apalagi imitasi… perasaan yang nyata nyata dirasakan bukan karena melihat kondisi yang dibuat buat… apa yang bisa didapat dari training traning motivasi yang nangispun karena ikut ikutan..? (eh ini kok jadi melebar ya.. )
Pengalaman mendaki dan setelahnya membuat kita menjadi lebih menghargai ciptaannya, lebih bersyukur tentang memaknai hidup.. ada jutaan tanya yang bergemuruh di kepala masing masing. Bagi yang mampu mengambil pelajaran dari pendakiannya…
Itulah menurut saya mengapa mendaki gunung itu bisa begitu dirindukan.. bukan sekedar menghilangkan kepenatan.. tapi mengisi relung relung spiritual kita yang udah bolong bolong kena polusi.. Polusi yang nama lainnya masalah kehidupan. Yang sering bikin kita lupa siapa sebenarnya kita…
Ah aku rindu mendaki..,
aku rindu karena sudah banyak bolong bolong di sini… (sambil ngusap dada..)
Dec 6, 2013
Crush!!
Menyimpan kepingan yang tersisa.. Mungkin yang sekeping ini akan jauh bernilai jika ada yang mampu menghargainya..